filosofi kopi - Filosofi Kopi Melawai - Jika Ben's Perfecto itu nyata, itu niscaya merupakan kopi olahan terbaik di ibukota. Ramuan kopi fiktif ini sayangnya hanya di bioskop, tidak dilanjutkan di dunia nyata. Bahkan kalau ada, Ben's Perfecto akan menjadi misterius dan mahal. Saya bersyukur bahwa itu hanya fiksi, hingga akibatnya saya pergi ke Filosofi Kopi Melawai.
Toko ini, yang merupakan setting untuk Filosofi Kopi, sebetulnya ada, dalam arti bahwa itu dipertahankan sebagai kedai kopi bahkan sehabis film selesai ditayangkan di bioskop Indonesia. Tapi saya tidak menemukan Ben's Perfecto di Filsafat Kopi Melawai, saya menemukan nuansa lain dalam menerjemahkan karya fiksi menjadi fakta.
Tidak banyak kejutan menyerupai ini di Indonesia, Filsafat Kopi Melawai yakni langkah yang brilian, langkah di mana mewujudkan fantasi menjadi kenyataan. Membuat kisah di bioskop bukan hanya gosip, tetapi dimanifestasikan di dunia nyata.
Tempatnya masih persis sama menyerupai di film, beling depan yang lebar, daerah pembuatan bir kopi di tengah dan semua detail interior yang masih dipertahankan sebagai film.
Di tengah-tengah Melawai dan Blok-M Square yang ramai, toko ini muncul dan memberi cita rasa tersendiri. Anak-anak muda bersedia mengantri untuk minum kopi, menyisihkan semua keriuhan yang terjadi di Melawai, meluangkan waktu untuk berjalan menyusuri jalan di depan toko yang dipenuhi dengan sepeda motor yang diparkir tidak mengetahui diri mereka sendiri.
Saya pergi ke toko dan tampaknya terjebak di dunia fiksi Philosofi Kopi. Saya kira ini hanya semacam repertoar tiruan hingga saya disambut oleh Jody di kasir. Jody benar-benar berada di kasir Filosofi Kopi Melawai, benar-benar sibuk dengan perangkat besar menyerupai di film, benar-benar menghitung pesanan.
Bedanya sekarang, Jody juga harus melayani foto-foto penggemarnya yang terkadang menganga tak percaya di depan konter. Untungnya tidak hingga histeria, beliau sudah terkenal.
Aku mengusap mataku, saya mencubit tanganku, ternyata ini yakni Jody, Jody sedang melayani pembeli.
Toko ini penuh sesak dengan pembeli, saya yakin semua orang ingin menikmati kopi mereka, termasuk menikmati berfantasi perihal film-film Filosofi Kopi, membayangkan bahwa mereka juga bintang film. Saya menghargai keberlanjutan ini, orang tidak hanya menerjemahkan Philosofi Kopi dari layar, tetapi sanggup menerjemahkan Filosofi Kopi di dunia nyata. Rasakan bagaimana deru mesin espresso hingga menikmati tangan tampan dari barista yang harus mencampur kopi dengan sibuk.
Saya duduk di sisi belakang, tepat di belakang panggung, daerah yang tepat untuk menikmati barista yang menciptakan narasi di setiap cangkir kopi yang disajikan.
Tidak ada Ben, barista tanpa kecocokan di dunia Philosofi Kopi. Saya hanya bertemu barista yang sibuk menciptakan kopi. Kedai kopi ini sepopuler film, dalam hitungan menit pengunjung tiba dan pergi, bolak-balik masuk dan keluar. Juga tidak ada Ben's Perfecto di menu, ini yakni batas dunia sinema dan dunia nyata.
Dikatakan bahwa Ben hanya tiba seminggu sekali. Untunglah mereka yang tiba saat Ben ada di belakang mesin espresso. Bisa jadi Ben menawarkan kejutan dengan secangkir Ben's Perfecto, tanda tangan yang lahir dari tangannya.
Saya menentukan secangkir Cafe Latte dingin. Entah bagaimana mungkin alasannya yakni sepanjang hari Jakarta panas. Sepertinya Cafe Latte di depan saya yakni personifikasi kopi yang disajikan di layar bioskop. Saya minum seteguk, adonan espresso yang kaya akan susu ada di lidah.
Barista membuatnya tepat di tengah, tidak saling mengalahkan. Apa yang ada pahit - asam espresso dan susu gres yang lembut bercampur saat ada di lidah, menjadi satu tidak bertabrakan satu sama lain. Jadilah Kafe Latte hambar yang haus akan haus, pendingin dari panasnya Jakarta.
Ada beberapa camilan yang disajikan, tetapi saya tidak memesan. Tetapi banyak yang memesan makanan ringan, bagi saya secangkir kopi yakni balasan yang tepat mengapa saya di sini.
Saya tahu saya tidak akan bertemu Ben's Perfecto, ramuan kopi maharaja yang terkenal. Juga saya tidak akan bertemu Ben, barista nomor satu di ibu kota. Tapi saya tidak hanya memenuhi kedai kopi dari film terkenal. Saya mendapat kesan positif dari sebuah fantasi. Dan dari teguk sehabis tegukan yang ada di mulut, meluncur melalui kerongkongan dan berakhir di perut, ini yakni pengalaman dengan segudang kejutan.
Untuk kesan perihal film, saya merasa Filosofi Kopi Melawai yakni kesempurnaan. Ada lamunan perihal Jody berpikir perihal tokonya yang tidak bisa bersaing dengan kedai kopi modern, ada percikan konflik antara Jody dan Ben perihal mengelola kedai kopi, tidak lupa ada juga deru persahabatan yang hanya bisa didefinisikan oleh mereka berdua.
Toko ini, yang merupakan setting untuk Filosofi Kopi, sebetulnya ada, dalam arti bahwa itu dipertahankan sebagai kedai kopi bahkan sehabis film selesai ditayangkan di bioskop Indonesia. Tapi saya tidak menemukan Ben's Perfecto di Filsafat Kopi Melawai, saya menemukan nuansa lain dalam menerjemahkan karya fiksi menjadi fakta.
Tidak banyak kejutan menyerupai ini di Indonesia, Filsafat Kopi Melawai yakni langkah yang brilian, langkah di mana mewujudkan fantasi menjadi kenyataan. Membuat kisah di bioskop bukan hanya gosip, tetapi dimanifestasikan di dunia nyata.
Tempatnya masih persis sama menyerupai di film, beling depan yang lebar, daerah pembuatan bir kopi di tengah dan semua detail interior yang masih dipertahankan sebagai film.
Di tengah-tengah Melawai dan Blok-M Square yang ramai, toko ini muncul dan memberi cita rasa tersendiri. Anak-anak muda bersedia mengantri untuk minum kopi, menyisihkan semua keriuhan yang terjadi di Melawai, meluangkan waktu untuk berjalan menyusuri jalan di depan toko yang dipenuhi dengan sepeda motor yang diparkir tidak mengetahui diri mereka sendiri.
Saya pergi ke toko dan tampaknya terjebak di dunia fiksi Philosofi Kopi. Saya kira ini hanya semacam repertoar tiruan hingga saya disambut oleh Jody di kasir. Jody benar-benar berada di kasir Filosofi Kopi Melawai, benar-benar sibuk dengan perangkat besar menyerupai di film, benar-benar menghitung pesanan.
Bedanya sekarang, Jody juga harus melayani foto-foto penggemarnya yang terkadang menganga tak percaya di depan konter. Untungnya tidak hingga histeria, beliau sudah terkenal.
Aku mengusap mataku, saya mencubit tanganku, ternyata ini yakni Jody, Jody sedang melayani pembeli.
Toko ini penuh sesak dengan pembeli, saya yakin semua orang ingin menikmati kopi mereka, termasuk menikmati berfantasi perihal film-film Filosofi Kopi, membayangkan bahwa mereka juga bintang film. Saya menghargai keberlanjutan ini, orang tidak hanya menerjemahkan Philosofi Kopi dari layar, tetapi sanggup menerjemahkan Filosofi Kopi di dunia nyata. Rasakan bagaimana deru mesin espresso hingga menikmati tangan tampan dari barista yang harus mencampur kopi dengan sibuk.
Saya duduk di sisi belakang, tepat di belakang panggung, daerah yang tepat untuk menikmati barista yang menciptakan narasi di setiap cangkir kopi yang disajikan.
Tidak ada Ben, barista tanpa kecocokan di dunia Philosofi Kopi. Saya hanya bertemu barista yang sibuk menciptakan kopi. Kedai kopi ini sepopuler film, dalam hitungan menit pengunjung tiba dan pergi, bolak-balik masuk dan keluar. Juga tidak ada Ben's Perfecto di menu, ini yakni batas dunia sinema dan dunia nyata.
Dikatakan bahwa Ben hanya tiba seminggu sekali. Untunglah mereka yang tiba saat Ben ada di belakang mesin espresso. Bisa jadi Ben menawarkan kejutan dengan secangkir Ben's Perfecto, tanda tangan yang lahir dari tangannya.
Saya menentukan secangkir Cafe Latte dingin. Entah bagaimana mungkin alasannya yakni sepanjang hari Jakarta panas. Sepertinya Cafe Latte di depan saya yakni personifikasi kopi yang disajikan di layar bioskop. Saya minum seteguk, adonan espresso yang kaya akan susu ada di lidah.
Barista membuatnya tepat di tengah, tidak saling mengalahkan. Apa yang ada pahit - asam espresso dan susu gres yang lembut bercampur saat ada di lidah, menjadi satu tidak bertabrakan satu sama lain. Jadilah Kafe Latte hambar yang haus akan haus, pendingin dari panasnya Jakarta.
Ada beberapa camilan yang disajikan, tetapi saya tidak memesan. Tetapi banyak yang memesan makanan ringan, bagi saya secangkir kopi yakni balasan yang tepat mengapa saya di sini.
Saya tahu saya tidak akan bertemu Ben's Perfecto, ramuan kopi maharaja yang terkenal. Juga saya tidak akan bertemu Ben, barista nomor satu di ibu kota. Tapi saya tidak hanya memenuhi kedai kopi dari film terkenal. Saya mendapat kesan positif dari sebuah fantasi. Dan dari teguk sehabis tegukan yang ada di mulut, meluncur melalui kerongkongan dan berakhir di perut, ini yakni pengalaman dengan segudang kejutan.
Untuk kesan perihal film, saya merasa Filosofi Kopi Melawai yakni kesempurnaan. Ada lamunan perihal Jody berpikir perihal tokonya yang tidak bisa bersaing dengan kedai kopi modern, ada percikan konflik antara Jody dan Ben perihal mengelola kedai kopi, tidak lupa ada juga deru persahabatan yang hanya bisa didefinisikan oleh mereka berdua.
Malam semakin hangat dan semakin banyak orang masuk, mesin espresso dan tangan barista semakin sibuk menyambut tamu. Toko ini tampaknya memberi ruang bagi tamu yang ingin kopi untuk menghela nafas malam.
Para tamu mulai berdesakan, saya menghabiskan kopinya hingga selesai, saya segera mengucapkan selamat tinggal pada Jody dan membalas selamat tiba Melawai, pemenang malam berkilauan. Melawai penuh dengan kisah hingga pagi.
Saya kembali ke kedai dan meyakinkan Anda untuk kembali lagi alasannya yakni Kopi Filsafat Melawai yang diterjemahkan berarti memanfaatkan khayalan perihal dunia Filosofi Kopi yang telah terbang.
Para tamu mulai berdesakan, saya menghabiskan kopinya hingga selesai, saya segera mengucapkan selamat tinggal pada Jody dan membalas selamat tiba Melawai, pemenang malam berkilauan. Melawai penuh dengan kisah hingga pagi.
Saya kembali ke kedai dan meyakinkan Anda untuk kembali lagi alasannya yakni Kopi Filsafat Melawai yang diterjemahkan berarti memanfaatkan khayalan perihal dunia Filosofi Kopi yang telah terbang.
Kami ingin mendengarkan masukan dan pengalaman dari anda, silahkan isi kolom komentar, jangan lupa like dan share.
Comments
Post a Comment